Minggu, 23 Oktober 2011

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pendidik menjadi icon penting dalam dunia pendidikan, sehingga keberhasilan lembaga pendidikan dalam mencetak anak didiknya tidak terlepas dari eksistensi pendidik yang memiliki sifat-sifat pendidik yang baik disamping kemampuan skillnya. Al-Qur’an banyak berbicara tentang pendidik yang siap mengantarkan pada ranah kehidupan yang lebih baik. Pendidik sebagai ujung tombak yang bisa merobah manusia baik dari aspek budaya, sosial, dan agama.    
Tuntunan Islam sangat menekankan akan urgensi pendidikan bagi umat manusia. Pada hakikatnya pendidikan sebagai jalan satu-satunya menuju kehidupan yang tentram dan damai baik di dunia juga di akhirat. Bagaimana manusia akan tentram di dunia apabila ia tidak mengetahui ilmu-ilmu dunia ? begitu juga untuk memperoleh kedamaian di akhirat harus mengetahui jalan menuju kedamaian akhirat.
RUMUSAN MASALAH
1.      Pengkajian tentang Pengertian Pendidik,
2.      Klasifikasi Pendidik,
3.      Persyaratan Pendidik Agama Islam,
4.      Tugas Pendidik Agama Islam,
5.      Perintah Mendidik dari Allah dan Nabi.



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENDIDIK
a.  Pengertian Pendidik
Pendidik menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik. Definisi ini memberi pengertian, bahwa pendidik adalah orang yang melakukan aktivitas dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris disebut dengan Teacher yang diartikan guru atau pengajar dan Tutor yang berarti guru privat, atau guru yang mengajar dirumah. Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai kata Ustadz, Mudarris, Mu’allim dan Mu’addib. Kata Ustadz jamaknya Asatidz yang berarti Teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang dibidang intektual, pelatif, penulis, dan penyair. Adapun kata Mudarris berarti Teacher (guru), Instructor (pelatih) dan Lecturer (dosen). Selanjutnya kata Mu’allim yang juga berarti Teacher (guru), Instructor (pelatih), Trainer (pemandu). Selanjutnya kata Mu’addib berarti Educator (pendidik) atau teacher in Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan Al-Qur-an).
Dengan demikian, istilah-istilah di atas mengindikasikan dalam arti pendidik, karena seluruh kata tersebut mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau pengalaman kepada orang lain. Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Apabila dililihat secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peseta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut Suryosubrata, pendidik adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. di bumi, dan mampu sebagai makhluk soial, dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
b.  Klasifikasi Pendidik
Tuntunan Islam sangat menekankan akan urgensi pendidikan bagi umat manusia. Pada hakikatnya pendidikan sebagai jalan satu-satunya menuju kehidupan yang tentram dan damai baik di dunia juga di akhirat. Bagaimana manusia akan tentram di dunia apabila ia tidak mengetahui ilmu-ilmu dunia ? begitu juga untuk memperoleh kedamaian di akhirat harus mengetahui jalan menuju kedamaian akhirat. Untuk mengetahui kedua jalan tersebut harus menggunakan kendaraan ilmu, berupa pendidikan.
Pendidikan merupakan sarana potensial menuju keharibaan Tuhan. Keberhasilan sebuah pendidikan tidak akan terlepas oleh profesionalisme pendidik yang menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya. Bila dalam Al-Qur’an Allah menjadi subyek sebagai pendidik alam semesta (رب العالمين) tentunya hal itu sebagai gambaran bagi manusia untuk bisa mengaplikasikan ajaran langit dengan meggunakan bahasa yang membumi. Dengan demikian diharapkan bagaimana Allah sebagai pendidik “menjadi integral dengan manusia sebagai pendidik”, sehingga pendidikan yang ideal menurut Al-Qur’an menjadi realistis di muka bumi ini. Keberhasilan Allah sebagai pendidik alam raya menjadi manefestasi manusia untuk meraih kesuksesan “yang serupa”.
Namun realisasinya dengan semakin “majunya perkembangan zaman”, menjadikan ajaran Al-Qur’an semakin termarjinalkan. Hal ini bisa diresapi oleh setiap individu bagaimana eksistensi pendidikan belakangan ini yang tidak memiliki arah secara hakiki. Pendidikan yang mestinya menjadi kewajiban individu terhadap penciptanya, kini hal tersebut sudah tidak memiliki atsar lagi. Kini pendidikan sudah tidak mengarah kepada ranah yang hakiki, justeru mengarah pada prestise, tidak mementingkan moral, dan mempreoritaskan pada hal yang berbau materi.
Imam Suprayogo menyatakan bahwa “cukup banyak bukti, bahwa seseorang yang memiliki kekayaan ilmu dan keterampilan, jika tidak dilengkapi dengan kekayaan akhlak atau moral, maka justru ilmu dan keterampilan yang disandang akan melahirkan sikap-sikap individualistik dan materialistik. Dua sifat ini akan menampakkan perilaku yang kurang terpuji seperti serakah, tidak mementingkan orang lain dan sifat-sifat jelek lainnya.
Adanya ranah pendidikan yang semakin melenceng jauh dari kehakikiannya, tidak terlepas dari seorang pendidik yang mestinya menjadi suri teladan bagi peserta didiknya justru belakangan ini banyak guru yang membiarkan bahkan membentuk anak didik menjauh dari ajaran Al-Qur’an sehingga dekadensi moral tak bisa dielakkan lagi. Bukankah pepatah mengatakan, guru kencing berdiri maka murid akan kencing berlari?
c. Persyaratan Pendidik Agama Islam
Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua kriteria berikut :
1. Alim yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang komprehenshiv tidak setengah-setengah.
2. Adil riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Di khawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima ank didik namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung pada kesesatan.
d. Tugas Pendidik Agama Islam
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam paradigma Jawa , pendidik diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai
kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya.
Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan, pengarah fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Sebagai instruksional (pengajar), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2. Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.
3. Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa:
1. Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memerhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta didik.
2. Membangkitkan gairah peserta didik
3. Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik
5. Memerhatikan perubahan-perubahankecendrungan yang mempengaruhi proses mengajar
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.
d. Perintah Mendidik dari Allah dan Nabi
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ `
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Pendidikan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid dan memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan dan mendidik kaumnya dengan tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ يلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَ`
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:
اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ“ Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)
Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umatnya dengan kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dengan tauhid.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ “Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)
Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullahu, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya.





BAB III
ANALISIS

Pendidik secara umum adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Apabila dililihat secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peseta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua kriteria  yaitu Alim dan Adil riwayat.
Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Perintah mendidik dari Allah dan nabi SAW,dengan tujuan membentuk umat manusia yang bertauhid dan bertaqwa kepada Allah SWT.







BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Pendidik adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peseta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik.
SARAN
Makalah ini hanya sebagai tambahan ilmu bagi kita,khususnya mahasiswa STAI  Pringsewu,oleh karena itu kami mengharapkan kepada pembaca untuk tetap memperdalam Ilmu Pendidikan Islam dari sumber­­­­­-sumber lain.









DAFTAR PUSTAKA

Drs. Bukhari Umar, M. Ag. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Amzah, 2010











makalah bahasa indonesia di era globalisasi

   BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

DIBUAT UNTUK MEMEMUHI SALAH SATU TUGAS MATA
KULIAH BAHASA INDONESIA

MAKALAH


OLEH

NAMA                 :ANDI PRIONO
NPM                    :101010046
SEMESTER        :DUA( II)
DOSEN                      :FAUZAN,S.Ag


logo STAI pringsewu













FAKULTAS TARBIYAH KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
PRINGSEWU LAMPUNG
2011





KATA PENGANTAR



          Puji syukur penulis ucapkan kepada tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat kepada penulis sehingga penulis dapat membuat makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah, Bahasa Indonesia semester dua. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diharapkan pertolongannya dihari perhitungan .
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan ,untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Pringsewu, 04 Maret 2011

Andi Priono
























DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR...................................................................................                     i
DAFTAR ISI..................................................................................................                     ii
BAB I PENDAHULUAN
          I. Latar belakang...........................................................................................             1
         II. Rumusan masalah......................................................................................             1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................             2           I.  Perkembangan bahasa Indonesia...........................................................................             2
            II. Sikap Pemakai Bahasa Indonesia yang Negatif...................................            
           III. Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi................................            
BAB III PENUTUP.................................................................................................            
              I. Kesimpulan.............................................................................................            
             II. Saran ......................................................................................................            
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            







           





                                                                         BAB I
PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG

Bahasa Indonesia merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu individu kepada individu lain atau lebih, baik itu secara lisan maupun tulisan.Dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa hampir disemua aktifitas, baik menggunakan bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa tubuh.Sebuah bangsa pasti memiliki bahasa, walaupun ada beberapa bangsa yang meminjam bahasa dari bangsa lain. Kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia seharusnya merasa sangat beruntung memiliki bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu. Akan tetapi, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu adalah bahasa Melayu, dua bahasa yang serumpun tapi tidak sama. Bahasa Indonesia berkembang dengan sendirinya sesuai dengan aturannya,dan bahasa Melayu berdiri sendiri menuju perkembangannya.
1.      II RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan beberapa hal di antaranya:

1.Setujukah Anda bila bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu?
2.Apakah bahasa Indonesia bakal punah ?
3.Apakah bahasa Indonesia tidak keren lagi atau sudah ketingglan zaman ?

 

 









BAB II

PEMBAHASAN

Filed Under: Opini
Seperti yang telah kita ketahui bahwa bahasa merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu individu kepada individu lain atau lebih, baik itu secara lisan maupun tulisan. Pernyataan tersebut sangatlah benar. Tidak seorangpun yang akan membantah pernyataan tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari tentu kita menggunakan bahasa hampir disemua aktifitas, baik menggunakan bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa tubuh.
Sebuah bangsa pasti memiliki bahasa, walaupun ada beberapa bangsa yang meminjam bahasa dari bangsa lain. Kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia seharusnya merasa sangat beruntung memiliki bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu. Akan tetapi, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu adalah bahasa Melayu, dua bahasa yang serumpun tapi tidak sama. Bahasa Indonesia berkembang dengan sendirinya sesuai dengan aturannya, dan bahasa Melayu berdiri sendiri menuju perkembangannya.
Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia bukanlah bermaksud atau bersikap seperti “kacang yang lupa akan kulitnya”, melupakan bahasa Melayu sebagai bibit dari bahasa Indonesia itu sendiri. Mungkin tanpa adanya bahasa Melayu, bahasa Indonesia tidak akan pernah ada. Akan tetapi, kita ingin memposisikan bahasa Indonesia sesuai pada posisinya, seperti yang telah tertuang dalam Sumpah Pemuda yang mengikrarkan tiga hal penting dalam sejarah dan proses kemerdekaan Indonesia, satu diantaranya adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Menjunjung tinggi bahasa Indoensia, berarti menaati dan memuliakan bahasa Indonesia sebagai bahasa peratuan dan bahasa nasional Indonesia. Demikianlah sumpah yang diikrarkan oleh pemuda-pemudi bangsa Indonesia pada tahun 1928.
Melihat kondisi pemakai bahasa Indonesia sekarang, seperti kata gue, elu, cape deh dan mencampur antara bahasa asing dengan bahasa Indonesia sudah menjadi kata-kata pokok yang wajib terlontar disetiap percakapan, padahal kata-kata seperti itu tidak layak beredar di kalangan masyarakat. Apalagi yang dapat kita lestarikan selain bahasa Indonesia. Sekarang kita coba melihat lebih luas lagi, kekayaan alam yang kita miliki perlahan-lahan sudah terkikis habis karena ulah rakyat Indonesia sendiri, kebudayaan yang semakin lama semakin tidak tampak lagi keasliannya karena sudah tercampur oleh budaya luar. Oleh karena itu tidak ada ruginya kita melestarikan bahasa yang sudah kita miliki dan sudah pendahulu kita jaga sampai sekarang. Jelas ini juga untuk masa depan penerus bangsa Indonesia di generasi berikutnya, bukan untuk negara lain .Pernahkah terlintas di pikiran kalian bahwa bahasa Indonesia kelak akan menjadi bahasa dunia? Tentu bukan hal yang mustahil bahasa Indonesia kelak akan menjadi bahasa dunia, bahasa yang digunakan oleh seluruh manusia yang ada di dunia. Dilihat dari struktur dan pembacaan bahasa Indonesia yang sangat sederhana, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang mudah untuk dipelajari. Suatu bukti yang dapat meyakini bahwa kelak bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa peradaban dunia, lumayan banyak negara di dunia telah mempelajari bahasa Indonesia.
Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia seharusnya banggga karena bahasa kita dipelajari oleh bangsa lain. Lantas mengapa kita harus belajar bahasa asing, bila bahasa kita kelak mampu menjadi bahasa Internasional dan bahasa peradaban dunia?Jawaban dari pertanyaan tersebut ada pada diri kita sebagai pemilik dan pengguna bahasa Indonesia. Kita harus konsisten dan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebenarnya sangatlah mudah, yang membuat sulit karena kita telah terbiasa dengan kesalahan yang ada dan selalu lelah untuk mempelajarinya dengan segala kerendahan hati. Kita selalu mempunyai anggapan, “untuk apa mempelajari bahasa Indonesia, bukankah kita orang Indonesia yang dengan sendirinya pasti mengerti dalam menggunakan bahasa Indonesia”. Jika masyarakat Indonesia tetap bersikap pesimis tentang peluang bahasa Indonesia untuk lebih berkembang di kalangan Interasional maka pernyataan tentang kepunahan bahasa Indonesia di masa depan akan terjadi, coba bayangkan seperti apa keadaan bangsa Indonesia yang tidak mempunyai bekal ataupun titipan untuk generasi mendatang. Maka itu, jagalah kesucian bahasa Indonesia yang sudah kita miliki dan lestarikanlah keaslian dari bahasa Indonesia. Terjaga bahasa negara kita dari kepunahan sama saja mengangkat martabat bangsa kita dimata dunia .Maka dari itu marilah kita semua menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia dan mempertahankan tata bahasa Indonesia,dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar agar bahasa Indonesia tidak punah dengan adanya kemajuan jaman di era globalisasi ini.



II. Sikap Pemakai Bahasa Indonesia yang Negatif

Bangsa Indonesia, sebagai pemakai bahasa Indonesia, seharusnya bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alay komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya dengan sempurna dan lengkap kepada orang lain. Mereka semestinya bangga memiliki bahasa yang demikian itu. Namun, berbagai kenyataan yang terjadi, tidaklah demikian. Rasa bangga berbahasa Indonesia belum lagi tertanam pada setiap orang Indonesia. Rasa menghargai bahasa asing (dahulu bahasa Belanda, sekarang bahasa Inggris) masih terus menampak pada sebagian besar bangsa Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Bahkan, mereka seolah tidak mau tahu perkembangan bahasa Indonesia. Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut.

a. Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya menggunakan bahasa Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.b. Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.

 c. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

d. Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna.

Kenyataan-kenyataan tersebut merupakan sikap pemakai bahasa Indonesia yang negatif dan tidak baik. Hal itu akan berdampak negatif pula pada perkembangan bahasa Indonesia. Sebagian pemakai bahasa Indonesia menjadi pesimis, menganggap rendah, dan tidak percaya kemampuan bahasa Indonesia dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan lengkap, jelas, dan sempurna. Akibat lanjut yang timbul dari kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, page, background, reality, alternatif, airport, masing-masing untuk "halaman", "latar belakang", "kenyataan", "(kemungkinan) pilihan", dan "lapangan terbang" atau "bandara".

b. Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata dan istilah asing yang "amat asing", "terlalu asing", atau "hiper asing". Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut,misalnya rokh, insyaf, fihak, fatsal, syarat (muatan), (dianggap) syah. Padahal, kata-kata itu cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak, pasal, sarat (muatan), dan (dianggap) sah.

c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai bermacam-mecam kamus bahasa asing tetapi tidakmempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya,kalau mereka kesulitan menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia, mereka akan mencari jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya, pengggunaan kata yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.

Kenyataan-kenyataan dan akibat-akibat tersebut kalau tidak diperbaiki akan berakibat perkembangan bahasa Indonesia terhambat. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, sepantasnyalah bahasa Indonesia itu dicintai dan dijag. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan dengan baik karena bahasa Indonesia itu meruoakan salah satu identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Setiap orang Indonesia patutlah bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, janganlah menganggap remeh dan bersikap negatif. Setiap orang Indonesia mestilah berusaha agar selalu cermat dan teratur menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, mestilah dikembangkan budaya malu apabila meraka tidak memperguanakn bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang dipenuhi oleh kata, istilah, dan ungkapan asing merupakan bahasa Indonesia yang "canggih" adalah anggapan yang keliru. Begitu juga, penggunaan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbelit-belit, sudah tentu memperlihatkan kekacauan cara berpikir orang yang menggunakan kalimat itu. Apabila seseorang menggunakan bahasa dengan kacau-balau, sudah tentu hal itu menggambarkan jalan pikiran yang kacau-balau pula. Sebaliknya, apabila seseorang menggunakan bahasa dengan teratur, jelas, dan bersistem, cara berpikir orang itu teratur dan jelas pula. Oleh sebab itu, sudah seharusnyalah setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang teratur, jelas, bersistem, dan benar agar jalan pikiran orang Indonesia (sebagai pemilik bahasa Indonesia) juga teratur dan mudah dipahami orang lain.


III. Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi

  Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Setiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia "asal orang mengerti". Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan "Bahasa menunjukkan bangsa", yang membaw pengertian bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepanh, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan.









                                                                        BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

                 Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah besar dan bertambah mendalam. Sudah barang tentu, ini semuanya merupakan harapan bersama, harapan setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia.

Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia yang perlu terus dipertahankan. Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus bterus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dalam pergalan antarbangsa pada era globalisasi ini. Apabila kebanggaan berbahasa Indonesia dengan jati diri yang ada tidak tertanam di sanubari setiap bangsa Indonesia, bahasa Indonesia akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya kekacauan dalam pengungkapan pikiran. Akibatnya bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu jati dirinya. Kalau sudah demikian, bangsa Indonesia "akan ditelan" oleh bangsa lain yang selalu melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan menggunakan bahasa yang teratur dan berdisiplin tinggi. Sudah barang tentu, hal seperti harus dapat dihindarkan pada era globalisasi ini. Apalagi, keadaan seperti ini bukan merupakan keinginan bangsa Indonesia
SARAN


Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan untuk itu pembaca diharapkan  tidak hanya berpegangan pada makalah ini ,tetapi mencari sumber-sumber lain agar banyak pengetahuan yang dimiliki.


DAFTAR PUSTAKA


http://odhepriyamona.wordpress.com/2009/10/20/bahasa-indonesia-dan-era-globalisasi/